Sunday, October 12, 2014

Sukses & Arogansi



Seorang CEO dari perusahaan Fortune 100 mengatakan, “Success can lead to arrogance. When we are arrogant, we quit listening. When we quit listening, we stop changing. In today’s rapidly moving world, if we quit changing, we will ultimately fail.” (Sukses bisa membuat kita jadi arogan. Saat kita arogan, kita berhenti mendengarkan. Ketika kita berhenti mendengarkan, kita berhenti berubah. Dan di dunia yang terus berubah dengan begitu cepatnya seperti sekarang, kalau kita berhenti berubah, maka kita akan gagal).

Itulah sisi negatif dari kesuksesan, yakni arogansi. Arogansi muncul saat seseorang merasa diri paling hebat, paling luar biasa, dan paling baik dibandingkan dengan yang lainnya. Penyakit mental ini bisa menjangkiti apa dan siapa saja, mulai dari organisasi, produk, pemimpin, sampai orang biasa. Khusus pada tulisan ini, kita akan membicarakan soal manusianya.

Orang sukses lalu bersombong ria sebenarnya patut disayangkan. Bayangkan saja, saat berjuang keras menggapai kesuksesan, mereka begitu terbuka untuk belajar. Mereka mau mendengarkan. Mereka mau berjerih payah, berani hidup susah, dan mengorbankan diri. Bahkan, mereka tampak sangat ‘merakyat’ hidupnya. Akan tetapi, itu dulu. Sayang sekali, saat kesuksesan datang, mereka lupa diri. Mungkin dia akan berkata, “Saya sudah berhasil mencapai yang terbaik. Sekarang, Andalah yang harus mendengarkan saya. Saya tidak perlu lagi mendengarkan Anda.” Hal itu diperparah lagi ketika mereka dikelilingi oleh para ‘yes man’ yang tidak berani angkat bicara soal kekurangan orang ini. Hal ini membuat orang itu semakin ‘megalomania’ , pongah, angkuh, dan egois. Ia terbelenggu oleh kesuksesannya sendiri. Ia tidak pernah belajar lagi.

Ada Seorang Pebisnis, dia menceritakan susah payahnya membangun bisnisnya. Cerita yang mengharukan sekaligus heroik ketika dia harus tidur di kolong jembatan saat tiba di Jakarta ketika remaja. Dengan susah payah dia merangkak dari bawah untuk bertahan hidup. Menikah tanpa uang sepeser pun. Hidup di rumah kontrakan kecil. Akan tetapi, dia tidak patah arang. Dia mengamati cara kerja orang sukses, mencontoh, dan memodifikasi sendiri produknya. Sekarang, dia pun berjaya. Tiga pabrik besar ada di genggamannya.

Namun, sayang sekali. Perusahan itu sedang diterpa badai masalah internal. Pemicunya tak lain adalah sikap pemimpin yang arogan. Dia otoriter dan antikritik. “Kalau saya bisa, kalian juga harus bisa,” katanya pongah. Dia pun menolak ide-ide baru. Dia mengelola perusahaan dengan serampangan. Turn over karyawan pun tinggi. Sisanya hanya kelompok para ‘penjilat’ yang tidak berani melawan. Dia menginginkan anak buahnya di-training. Padahal, dia sendiri yang perlu up date diri dengan training.

Arogansi bisa menghampiri siapa saja. Termasuk seorang pendidik, guru, dosen, yang tiap hari memberi suatu bagi orang lain.

Dari situ, kita belajar banyak untuk hati-hati. Kesuksesan jangan membuat kita arogan dan cenderung self centered serta tidak mau mendengarkan orang lain. Dunia begitu mengenal sosok Mao, Hitler, ataupun Stalin. Mereka berjuang dari basis bawah menuju pucuk kepemimpinan. Mereka pun berjuang untuk perubahan di masyarakatnya. Idealisme mereka sangat luar biasa. Orang pun dibuatnya kagum. Namun, mereka lupa daratan ketika sukses. Mereka memonopoli kebenaran tunggal alias antikritik dan antipembaruan. Mereka memimpin dengan tangan besi. Korban pun bergelimpangan dari tangannya. Begitu juga dalam sejarah bisnis. IBM yang begitu besar dan terkenal pernah mengalami kemerosotan saat arogansi membekap sikap dan pikiran para pemimpin mereka.

Terjebak retorika

Namun, itulah yang terjadi apabila orang berhenti belajar dan merasa diri sudah selesai. Tanpa dia sadari, lingkungannya terus belajar, berinovasi, dan berkembang. Sementara, dia mandek di posisinya. Akibatnya, kue kesuksesan yang dia peroleh lama-kelamaan menjadi basi. Tanpa sadar, kompetitor mereka bergerak jauh meninggalkan dirinya di belakang. Mereka terjebak dalam retorika, kalimat, jurus yang itu-itu saja alias usang. Arogansi telah menutup hati dan pikirannya untuk kreatif menemukan jurus dan tip-tip baru mempertahankan sekaligus mengembangkan kesuksesannya. Di sinilah, arogansi berujung pada malapetaka dan kehancuran.

Jadi, bagaimanakah tipnya agar kesuksesan kita tidak berubah menjadi arogansi?

Pertama- Aware (sadar) dengan sikap dan tingkah laku kita selalu. Meskipun sudah sukses, kita perlu memberi waktu untuk menyadari sikap dan perilaku kita di mata orang lain. Selalulah sadar apakah nada dan ucapan serta tindak tanduk kita sekarang semakin membuat banyak orang lain terluka? Apakah kita masih tetap menghargai orang lain? Apalagi orang-orang yang telah turut membawa Anda ke level sukses sekarang, apakah Anda hargai? Jangan sampai, tatkala masih bersusah payah, kita begitu respek, tetapi setelah sukses justru mencampakkan mereka.

Kedua- Waspadai umpan balik yang hanya menghibur kita tetapi tidak membuat kita belajar lagi. Hati-hati dengan orang di sekeliling kita yang hanya mengatakan hal bagus, tetapi tidak berani memberikan masukan yang baik. Kadang, masukan negatif juga kita perlukan demi perkembangan, sesukses apa pun kita.

Ketiga- Awasi dan peka dengan perubahan yang terjadi. Dalam buku Who Moved My Cheese disimpulkan bahwa kita harus selalu mencium keju kita, apakah sudah basi ataukah mulai diambil orang lain. Kita pun harus terus mencium dan peka bagaimana orang lain mengembangkan dirinya serta bisa jadi ancaman bagi kita. Jangan pula merasa diri paling hebat dan lupa belajar.

Keempat- Sopan dan rendah hati untuk belajar dari orang lain.

Semoga tulisan ini menginspirasi Anda untuk meraih sukses sejati. Kesuksesan yang membuat Anda tidak arogan. Baiknya kita tutup tulisan ini dengan kalimat kuno yang seringkali sudah kita dengar. “Di atas langit masih ada langit yang lain”.

Hidup Jangan Tertidur



Untuk dapat menikmati hidup, hal terpenting yang perlu Anda lakukan adalah menjadi SADAR. Inti kepemimpinan adalah kesadaran. Inti spiritualitas juga adalah kesadaran. Banyak orang yang menjalani hidup ini dalam keadaan “tertidur.” Mereka lahir, tumbuh, menikah, mencari nafkah, membesarkan anak, dan akhirnya meninggal dalam keadaan “tertidur.”

Analoginya adalah seperti orang yang terkena hipnotis. Anda tahu di mana menyimpan uang. Anda pun tahu persis nomor pin Anda. Dan Andapun menyerahkan uang Anda pada orang tidak dikenal. Anda tahu, tapi tidak sadar. Karena itu, Anda bergerak bagaikan robot-robot yang dikendalikan orang lain, lingkungan, jabatan, uang, dan harta benda.

Pengertian menyadari amat berbeda dengan mengetahui. Anda tahu berolah raga penting untuk kesehatan, tapi Anda tidak juga melakukannya. Anda tahu memperjualbelikan jabatan itu salah, tapi Anda menikmatinya. Anda tahu berselingkuh dapat menghancurkan keluarga, tapi Anda tidak dapat menahan godaan. Itulah contoh tahu tapi tidak sadar!

Ada dua hal yang dapat membuat orang menjadi sadar. Pertama, peristiwa-peristiwa pahit dan musibah. Musibah sebenarnya adalah “rahmat terselubung” karena dapat membuat kita bangun dan sadar. Anda baru sadar pentingnya kesehatan kalau Anda sakit. Anda baru sadar pentingnya olahraga kalau kadar kolesterol Anda mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Anda baru sadar nikmatnya bekerja kalau Anda di-PHK. Seorang wanita karier baru menyadari bahwa keluarga jauh lebih penting setelah anaknya terkena narkoba. Seorang sopir taksi pernah bercerita bahwa ia baru menyadari bahayanya judi setelah hartanya habis.

Kematian mungkin merupakan satu stimulus terbesar yang mampu menyentakkan kita. Banyak tokoh terkenal meninggal begitu saja. Mereka sedang sibuk memperjualbelikan kekuasaan, saling menjegal, berjuang meraih jabatan, lalu tiba-tiba saja meninggal. Bayangkan kalau Anda sedang menonton film di bioskop. Pertunjukan sedang berlangsung seru ketika tiba-tiba listrik padam. Petugas bioskop berkata, “Silakan Anda pulang, pertunjukan sudah selesai!” Anda protes, bahkan ingin menunggu sampai listrik hidup kembali. Tapi, si penjaga hanya berkata tegas, “Pertunjukan sudah selesai, listriknya tidak akan pernah hidup kembali.”

Itulah analogi sederhana dari kematian. Kematian orang yang kita kenal, apalagi kerabat dekat kita sering menyadarkan kita pada arti hidup ini. Kematian menyadarkan kita pada betapa singkatnya hidup ini, betapa seringnya kita meributkan hal-hal sepele, dan betapa bodohnya kita menimbun kekayaan yang tidak sempat kita nikmati.

Hidup ini seringkali menipu dan meninabobokan orang. Untuk menjadi bangun kita harus sadar mengenai tiga hal, yaitu siapa diri kita, darimana kita berasal, dan ke mana kita akan pergi. Untuk itu kita perlu sering mengambil jarak dari kesibukan kita dan melakukan kontemplasi.

Ada sebuah ungkapan menarik dari seorang filsuf Perancis, Teilhard de Chardin, “Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi.” Manusia bukanlah “makhluk bumi” melainkan “makhluk langit.” Kita adalah makhluk spiritual yang kebetulan sedang menempati rumah kita di bumi. Tubuh kita sebenarnya hanyalah rumah sementara bagi jiwa kita. Tubuh diperlukan karena merupakan salah satu syarat untuk bisa hidup di dunia. Tetapi, tubuh ini lama kelamaan akan rusak dan akhirnya tidak dapat digunakan lagi. Pada saat itulah jiwa kita akan meninggalkan “rumah” untuk mencari “rumah” yang lebih layak. Keadaan ini kita sebut meninggal
dunia. Jangan lupa, ini bukan berarti mati karena jiwa kita tak pernah mati. Yang mati adalah rumah kita atau tubuh kita sendiri.

Coba Anda resapi paragraf diatas dalam-dalam. Badan kita akan mati, tapi jiwa kita tetap hidup. Kalau Anda menyadari hal ini, Anda tidak akan menjadi manusia yang ngoyo dan serakah. Kita memang perlu hidup, perlu makanan, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya. Bila Anda sudah mencapai semua kebutuhan tersebut, itu sudah cukup!

Buat apa sibuk mengumpul-ngumpulkan kekayaan — apalagi dengan menyalahgunakan jabatan — kalau hasilnya tidak dapat Anda nikmati selama-lamanya. Apalagi Anda sudah merusak jiwa Anda sendiri dengan
berlaku curang dan korup. Padahal, jiwa inilah milik kita yang abadi.

Lantas, apakah kita perlu mengalami sendiri peristiwa-peristiwa yang pahit tersebut agar kita sadar ? Jawabnya: ya! Tapi kalau Anda merasa cara tersebut terlalu mahal, ada cara kedua yang jauh lebih mudah:
Belajarlah MENDENGARKAN. Dengarlah dan belajarlah dari pengalaman orang lain. Bukalah mata dan hati Anda untuk mengerti, mendengarkan, dan mempertanyakan semua pikiran dan paradigma Anda. Sayang, banyak
orang yang mendengarkan semata-mata untuk memperkuat pendapat mereka sendiri, bukannya untuk mendapatkan sesuatu yang baru yang mungkin bertentangan dengan pendapat mereka sebelumnya. Orang yang seperti ini masih tertidur dan belum sepenuhnya bangun.

Thursday, October 9, 2014

Jutawan Yang Mengajari Anaknya Hidup Mandiri


Yu Youzhen, seorang jutawan asal Kota Wuhan, China, yang kini menjadi bahasan utama di beberapa surat kabar setempat. Pasalnya, untuk memberikan contoh positif bagi kedua anaknya, Yu rela menjadi tukang sapu jalan yang hanya menerima upah 1.420 yuan per bulan atau sekitar Rp 2,2 juta.

Uang yang didapatkannya dari upah menyapu jalan tentu tidaklah sebanding dengan pendapatannya saat ini. Yu, yang juga dikenal sebagai pemilik puluhan apartemen, tersebut memiliki aset jutaan yuan yang sangatlah cukup untuk menopang semua kebutuhan hidupnya. Namun, Yu tak ingin terlena dengan apa yang dia miliki sekarang.

Alih-alih bermalas-malasan di rumah dan menghitung semua kekayaannya, Yu tetap memutuskan untuk bekerja sebagai pekerja kebersihan. Pekerjaan tersebut rupanya telah ia lakukan sejak tahun 1998. Semua itu dilakukannya bukan tanpa alasan. Yu tidak dilahirkan dari keluarga yang kaya. Pada tahun 1980, ia hanyalah seorang petani sayur miskin di Hongshan, distrik Donghu, desa Huojiawan. Bersama suaminya, Yu harus mau bekerja keras untuk menghemat uang mereka.

Setelah bertahun-tahun bekerja dari fajar hingga senja, mereka berhasil menjadi keluarga pertama yang memiliki rumah 3 lantai. Kala itu, banyak orang yang datang ke Wuhan untuk mencari pekerjaan, dan banyak dari mereka yang membutuhkan tempat tinggal, sehingga Yu mulai menyewakan kamar cadangannya di rumahnya. Setiap kamar sewa menghasilkan sekitar 50 yuan setiap bulan.
Uang itu kemudian digunakan untuk membangun lebih banyak rumah dan menambah lantai. Setelah beberapa tahun, Yu dan suaminya memiliki tiga bangunan 5 lantai, yang sebagian besar disewakan. Beruntung lagi, sesuai dengan kebijakan penggantian dan pembangunan kembali lahan, Yu dan keluarganya mendapat kompensasi 21 apartemen dari pemerintah untuk seluruh rumah yang telah mereka bangun di Huojiawan.Kekayaan itu tak pelak menyilaukan mata Yu dan suaminya.

Ia yang sedari dulu telah bekerja keras tidak ingin kedua anaknya hidup berfoya-foya. Secara pribadi, Yu sangat menyayangkan sikap warga desanya yang sering menyia-nyiakan kekayaan mereka hanya untuk berjudi, minum, dan narkoba. Oleh karenanya, Yu bertekad akan mendidik anak-anaknya dengan memberi contoh yang baik.
Salah satunya dengan menjadi tukang sapu jalan.Ia bekerja sejak pukul 3 pagi selama enam hari dalam seminggu. Untuk membersihkan jalanan sepanjang 3 km, ia bahkan harus menghabiskan 6 jam sehari. Yu tidak hanya menyapu jalan, tetapi juga membersihkan semua tong sampah yang terdapat di sepanjang jalan.
"Saya ingin memberi contoh untuk putra dan putri saya. Seseorang tidak bisa hanya duduk di rumah dan 'menggerogoti' semua kekayaannya," kata Yu ketika ditanya perihal alasannya bekerja sebagai pembersih jalan, Yu juga memperingatkan kedua anaknya untuk tetap bekerja sebagaimana mestinya.

Jika tidak, ia mengancam untuk menyumbangkan semua hartanya pada negara. Kini, anak laki-lakinya telah bekerja sebagai supir di area Donghu Scenic dan digaji lebih dari 2.000 yuan per bulan, sedangkan putrinya bekerja di sebuah perkantoran dengan upah 3.000 yuan per bulan.

Setiap orang punya cara tersendiri untuk memaknai hidup. Namun, apakah hidup hanya sebatas kepuasan diri untuk apa yang telah kita dapatkan?
Ataukah kita tetap berjuang seperti apa yang dilakukan Yu sepanjang hidupnya?

Kejujuran Tukang Becak yang Diangkat Anak oleh Jenderal TNI


Sang Jenderal yang berpakaian sipil bertanya kepada si penarik becak itu, kenapa tidak ikut menjarah. "Itu perbuatan haram. Saya tidak pernah diberi makan barang haram oleh orangtua saya".

Dream - Hari itu Makassar begitu mencekam. Kerusuhan berbau Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) meletus di ibukota Sulawesi Selatan. Toko-toko dan rumah milik warga keturunan dijarah kemudian dibakar.

Dalam kerusuhan 15-17 September 1997 itu Sekitar 2.000 rumah dan toko hancur, dibakar dan dijarah. Tak kurang dari 80 mobil dan 150 sepeda motor jadi sasaran amuk massa. Total kerugian mencapai Rp 17,5 miliar.

Tragedi ini dikenang sebagai Peristiwa September. Saat itu Panglima Kodam Wirabuana dipegang Mayjen Agum Gumelar.

Saat patroli, Agum melihat seorang pemuda duduk di atas becaknya. Sementara ribuan orang lain sibuk menjarah toko-toko yang terbakar.

Mayor Jenderal Agum yang berpakaian sipil bertanya pada pemuda itu kenapa tidak ikut menjarah. Jawaban tukang becak bernama Mustafa tersebut mengejutkan Agum.

"Itu perbuatan haram. Saya tidak pernah diberi makan barang haram oleh orangtua saya," kata Mustafa tegas.

Kisah ini dituliskan Agum dalam biografinya Agum Gumelar Jenderal Bersenjata Nurani terbitan Pustaka Sinar Harapan 2004.

Agum kagum pada pemuda itu. Dia kemudian memberi uang Rp 20.000, tapi Mustafa menolaknya. Mustafa tidak tahu berhadapan dengan seorang Panglima Kodam.

Setelah Kapolres dan Komandan Kodim ikut mendesak, barulah Mustafa menerimanya. Uang dari Agum pun tak dipakai oleh Mustafa. Dia hanya menyimpannya saja.

Mustafa pemuda jujur berkemauan besar. Meninggalkan kampungnya di Janeponto demi melanjutkan SMA di Makassar.

Mustafa tak mau hanya jadi lulusan SMP dan jadi petani. Dia punya mimpi sekolah setinggi-tingginya. Demi sekolah, pemuda belasan tahun itu jadi penarik becak. Sehari-hari, dia ditampung oleh pamannya.

Mustafa juga baru tahu setelah koran-koran ramai memberitakan Pangdam Wirabuana mencari tukang becak untuk diberi penghargaan sebagai teladan. Akhirnya bertemulah Mustafa dengan Agum Gumelar.

Agum kemudian mengangkat Mustafa sebagai anak angkat. Dia menanggung semua biaya sekolah Mustafa. Agum juga mengajak Mustafa tinggal di rumah dinas Pangdam.

Pada 1998, Agum dipindah ke Jakarta. Dia berniat mengundang Mustafa untuk mengikuti perayaan sumpah pemuda di ibukota. Namun rupanya ada kabar duka dari Makassar.

Mustafa sudah meninggal dunia. Ternyata sudah lama Mustafa sakit-sakitan. Dia tak pernah menyampaikan hal itu pada Agum.

Penarik becak yang jujur itu sempat dirawat di sebuah rumah sakit, tapi karena tak ada biaya perawatan hanya asal-asalan.

Agum melayat ke Janeponto, dia disambut ribuan warga. Secara tak resmi, Mustafa diangkat jadi pahlawan kejujuran dari Janeponto. Mereka semua berduka atas kematian seorang pemuda yang layak jadi teladan.